Namaku Luthfia Fadlillahsari, panggil saja aku Fia atau Luthfia, tapi jangan panggil aku hanya Luth-nya saja, aku lahir 19 tahun silam, aku dibesarkan oleh keluarga yang harmonis dan bahagia, Ayah ku Suhardiman, Ibu ku Sukartini, aku mempunyai 3 orang saudari, Annisa, Aisyah, dan Rissa, cita-cita ku adalah membahagiakan orang lain, aku mempunyai ketertarikan pada dunia kejiwaan, banyak kisah dan kasus yang ingin aku bagi untuk kalian,dan banyakk hal yangg ingin aku tahu dari kalian, mari berbagilahh..
Rabu, 27 Mei 2015
Selasa, 26 Mei 2015
TEKNIK KOMUNIKASI TERAUPETIK DAN PENGAPLIKASIANNYA
A.
Teknik Komunikasi
Terapeutik
1.
Fase Komunikasi Terapeutik
a.
Pra Ineraksi
Pra interaksi mulai sebelum kontak pertama
dengan klien. Perawat mengeksplorasikan perasaan, fantasi dan ketakutannya.
Sehingga kesadaran dan kesiapan perawat untuk melakukan hubungan dengan klien
dapat dipertanggungjawabkan. Tugas tambahan pada fase ini adalah mendapatkan
informasi tentang klien dan menentukan kontak pertama.
b.
Orientasi (Orientation)
Pada fase ini hubungan yang terjadi masih
dangkal dan komunikasi yang terjadi bersifat penggalian informasi antara
perawat dan pasien. Fase ini dicirikan oleh lima kegiatan pokok yaitu testing,
building trust, identification of problems and goals, clarification of roles
dan contract formation.
c.
Kerja (Working)
Pada fase ini perawat dituntut untuk bekerja
keras untuk memenuhi tujuan yang telah ditetapkan pada fase orientasi. Bekerja
sama dengan pasien untuk berdiskusi tentang masalah-masalah yang merintangi
pencapaian tujuan. Fase ini terdiri dari dua kegiatan pokok yaitu menyatukan
proses komunikasi dengan tindakan perawatan dan membangun suasana yang
mendukung untuk proses perubahan.
d.
Penyelesaian (Termination)
Paa fase ini perawat mendorong pasien untuk
memberikan penilaian atas tujuan telah dicapai, agar tujuan yang tercapai
adalah kondisi yang saling menguntungkan dan memuaskan. Kegiatan pada fase ini
adalah penilaian pencapaian tujuan dan perpisahan
2.
Teknik Komunikasi
Terapeutik
a.
Memfokuskan Pembicaraan
Tujuan penerapan metode ini untuk membatasi
materi pembicaraan agar lebih spesifik dan mudah dimengerti. Perawat tidak
perlu menyela pembicaraan klien ketika menyampaikan masalah penting kecuali
apabila tidak membuahkan informasi baru.
b.
Menyampaikan Hasil Pengamatan
Perawat perlu menyampaikan hasil pengamatan
terhadap klien untuk mengetahui bahwa pesan dapat tersampaikan dengan baik.
Perawat menjelaskan kesan yang didapat dari isyarat nonverbal yang dilakukan
oleh klien. Dengan demikian akan menjadikan klien berkomunikasi dengan lebih
baik dan terfokus pada permasalahan yang sedang dibicarakan.
c.
Menawarkan Informasi.
Penghayatan kondisi klien akan lebih baik
apabila ia mendapat informasi yang cukup dari perawat. Memberikan informasi
yang lebih lengkap merupakkan pendidikan kesehatan bagi klien. Apabila ada
informasi yang tidak disampaikan oleh dokter, perawat perlu meminta penjelasan
alasannya. Perawat dimungkinkan untuk memfasilitasi klien dalam pengambilan
keputusan, bukan menasihatinya.
d.
Refleksi
Reaksi yang muncul dalan komunikasi antara
perawat dan klien disebut refleksi. Refleksi dibedakan dalam dua klasifikasi:
1.
Refleksi isi bertujuan
mensahkan sesuatu yang didengar. Klarifikasi ide yang diungkapkan oleh klien
dan pemahaman perawat tergolong dalam klasifikasi refleksi ini.
2.
Ungkapan yang bertujuan
memberi respon terhadap ungkapan perasaan klien tergolong dalam refleksi
perasaan. Refleksi ini bertujuan agar klien dapat menyadari eksistensinya
sebagai manusia yang mempunyai potensi sebagai manusia yang mempunyai potensi
sebagai individu yang berdiri sendiri.
e.
Sharing Perception (berbagi Persepsi)
Meminta Pendapat Klien tentang
hal yang dipikirkan dan dirasakan perawat sehingga
perawat dapat memberi umpan balik dan memberi informasi meminta pendapat klien tentang suatu
peristiwa atau pengalaman.
Contoh:
“Ibu
tersenyum, tetapi saya rasa ibu marah terhadap saya”
“Jelaskan
kecemasan anda akan operasi yang akan dilakukan”
f.
Identifikasi Tema
Mengidentifikasi
isu atau masalah yang terjadi berulang kali. Latar belakang yang dialami klien
yang muncul selama percakapan. Berguna untuk meningkatkan pengertian dan
menekspresikan masalah klien.
Contoh:
“Dari Keterangan yang ibu berikan
ibu merasa bahwa ibu ditolak oleh keluarga, apakah ini latar belakang masalah
yang ibu alami”
“Anda mengatakan tidak punya
siapa-siapa lagi dirumah, rumah terasa sunyi, saya rasa anda butuh teman”
g.
Memberi Informasi (informing)
Memberi
Fakta atau informasi untuk meningkatkan pengetahuan
h. Melakukan Observasi
Menyatakan
apa yang perawat lihat dalam penampilan dan perilaku klien
Contoh
“Tampaknya ada berduka”
“Saya lihat anda memejamkan mata dan
menggigit bibir anda”
i.
Mendorong melakukan perbandingan
Membantu klien memahami dengan
melihat persamaan dan perbedaan
Contoh:
“Sebutkan satu hal pada diri saya
yang mirip dengan putri anda”
“Bisakah bapa Sebutkan gejala
atau kondisi yang mana yang mirip dengan gejala atau kondisi bapa pernah alami
sebelumnya”
j. Summarizing
Meringkas
isu utama yang telah didiskusikan
Contoh:
“ Selama setengah jam ini anda dan saya telah mendiskusikan …………..”
k. Penyajian Realitas
Memberi
Penjelasan Realistis tentang hal yang klien lihat dan dengar
Contoh:
“Saya tidak melihat ada orang dihalaman”
Saya
mengerti anda berpikir telah mendengar bisikan tuhan, tetapi yang saya dengar
adalah suara daun yang tertiup angin
APLIKASI
TEKNIK KOMUNIKASI TERAPEUTIK
A. Teknik untuk meningkatkan komunikasi dengan lansia.
(1) Memulai kontak saling memperkenalkan nama dan berjabat
tangan.
(2) Bila hanya menyentuh tangannya hanya untuk
mengucapakan pesan-pesan verbal dan merupaka metode primer yang non verbal.
(3) Jelaskan tujuan dari wawancara dan hubungan dengan
intervensi keperawatan yang akan diberikan.
(4) Mulai pertanyaan tentang topik-topik yang tidak
mengancam.
(5) Gunakan pertanyaan terbuka dan belajar mendengar yang
efektif.
(6) Secara periodic mengklarifikasi pesan.
(7) Mempertahankan kontak mata dan mendengar yang baik dan
mendorong untuk berfokus pada informasi.
(8) Jangan berespon yang menonjolkan rasa simpati.
(9) Bertanya tentang keadaan mental merupakan pertanyaan
yang mengancam dan akan mengakiri interview.
(10) Minta ijin bila ingin bertanya secara formal.
Lingkungan wawancara.
1) Posisi duduk berhadapan.
2) Jaga privasi.
3) Penerangan yang cukup dan cegah latar
belakang yang silam.
4) Kurangi keramaian dan berisik.
5) Komunikasi dengan lansia kita mencoba
untuk mengerti dan menjaga kita mengekspresikan diri kita sendiri efek dari
kmunikasi adalah pengaruh timbal balik seperti cermin
2.5 Ketrampilan Komunikasi Teraupetik Pada Lansia.
1. Keterampilan
komunikasi terapeutik, dapat meliputi :
1) Perawat membuka
wawancara dengan memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan dan lama wawancara.
2) Berikan waktu
yang cukup kepada pasien untuk menjawab, berkaitan dengan pemunduran kemampuan
untuk merespon verbal.
3) Gunakan
kata-kata yang tidak asing bagi klien sesuai dengan latar belakang
sosiokulturalnya.
4) Gunakan
pertanyaan yang pendek dan jelas karena pasien lansia kesulitan dalam berfikir
abstrak.
5) Perawat dapat
memperlihatkan dukungan dan perhatian dengan memberikan respon nonverbal
seperti kontak mata secara langsung, duduk dan menyentuh pasien.
6) Perawat harus
cermat dalam mengidentifikasi tanda-tanda kepribadian pasien dan distress yang
ada.
7) Perawat tidak
boleh berasumsi bahwa pasien memahami tujuan dari wawancara pengkajian.
8) Perawat harus
memperhatikan respon pasien dengan mendengarkan dengan cermat dan tetap
mengobservasi.
9) Tempat
mewawancarai diharuskan tidak pada tempat yang baru dan asing bagi pasien.
10) Lingkungan harus dibuat nyaman dan
kursi harus dibuat senyaman mungkin.
11) Lingkungan harus dimodifikasi sesuai
dengan kondisi lansia yang sensitif terhadap suara berfrekuensi tinggi atau
perubahan kemampuan penglihatan.
12) Perawat harus mengkonsultasikan hasil
wawancara kepada keluarga pasien atau orang lain yang sangat mengenal pasien.
13) Memperhatikan kondisi fisik pasien
pada waktu wawancara.
2. Prinsip
Gerontologis untuk komunikasi.
1) Menjaga agar
tingkat kebisingan minimum.
2) Menjadi
pendengar yang setia, sediakan waktu untuk mengobrol.
3) Menjamin alat
bantu dengar yang berfungsi dengan baik.
4) Yakinkan bahwa
kacamata bersih dan pas.
5) Jangan berbicara
dengan keras/berteriak, bicara langsung dengan telinga yang dapat mendengar
dengan lebih baik.
6) Berdiri di depan
klien.
7) Pertahankan
penggunaan kalimat yang pendek dan sederhana.
8) Beri kesempatan
bagi klien untuk berfikir.
9) Mendorong
keikutsertaan dalam aktivitas sosial seperti perkumpulan orang tua, kegiatan
rohani.
10) Berbicara pada tingkat pemahaman klien.
11) Selalu menanyakan respons, terutama
ketika mengajarkan suatu tugas atau keahlian.
MAKALAH KOMUNIKASI KEPERAWATAN PADA GANGGUAN PENGLIHATAN DAN PENDENGARAN
BAB I
1.1 Latar Belakang
Pengertian KomunikasiMenurut Depkes RI tahun 2001 komunikasi adalah suatu
proses menyampaikan pesan yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang
bertujuan untuk menciptakan persamaan pikiran antara pengirim dan penerima fpesan. Menurut Dale Yoder dkk,kata
communications berasal dari sumber yang sama seperti kata common yang berarti
bersama,bersama-sama dalam membagi ide.
Berdasarkan tempatnya komunikasi bisa terjadi dimana saja. Baik dalam
kehidupan sehari-hari (komunikasi informal) hingga komunikasi yang bersifat
resmi (komunikasi formal).Dunia kesehatan juga tidak lepas dari komunikasi.
Komunikasi di dunia kesehatan bisa terjadi sesama rekan kerja, perawat dengan
klien maupun sebaliknya.
Komunikasi yang terjadi di
dunia kesehatan sering juga disebut dengan komunikasi secara terapeutik.
Komunikasi terapeutik sendiri maksudnya adalah komunikasi yang dilakukan secara
sadar,bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien.
Dalam melakukan komunikasi
tiap pasien mempunyai tingkat kesulitan masing-masing. Contohnya pada pasien
dengan gangguan pendengaran tentu saja akan berbeda jika dibandingkan dengan
pasien biasa. Dibutuhkan teknik khusus untuk membangun kepercayaan antara
pasien dengan perawat.
1.2
Rumusan Masalah
1.3
Tujuan Makalah
1.4
Manfaat Makalah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1Komunikasi Terapeutik
Komunikasi
adalah pengiriman atau tukar menukar informasi, ide dan sebagainya ( Oxford
Dictionary, 1956 ).
Komunikasi
terapeutik adalah hubungan perawat-klien yang harmonis sehingga perawat dapat
merubah prilaku klien untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal (stuart
& sunden).
Komunikasi
terapeutik adalah proses dimana perawat yang menggunakan pendekatan terencana
mempelajari klien. Proses memfokuskan pada klien namun direncenakan dan di
pimpin oleh seorang professional ( Keltner, Schwecke, dan Bostrom 1991)
a. Tujuan
Tujuan komunikasi terapeutik
adalah :
1. Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat
mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila pasien percaya pada hal
yang diperlukan.
2. Mengurangi
keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan mempertahankadsdn
kekuatan egonya.
3. Mempengaruhis
orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri.
Factor – factor penghambat komunikasi :
a. Kecakapan
yang kurang dalam berkomunikasi. Kurang cakap berbicara ( terutama di depan
umum ), berbicara tersendat – sendat, menyebabkan pendengar menjadi jengkel dan
tidak sabar.
b. Sikap yang kurang tepat. Seorang guru yang sedang mengajar di depan
kelas, sambil duduk diatas meja akan memberi kesan kurang baik bagi siswanya.
c. Kurang
pengetahuan. Seorang yang kurang pengetahuannya jarang membaca atau
mendengarkan radio atau televisi. Akan mengalami kesulitan dalam mengikuti
pembicaraan orang lain.
d. Kurang memahami system social.
e. Prasangka
yang tidak beralasan.
f. Jarak
fisik, komunikasi menjadi kurang lancer bila jarak antara komunikator dengan
reseptor berjauhan.
g. Tidak ada persamaan persepsi.
h. Indera yang rusak.
i. Berbicara
yang berlebihan. Berbicara berlebihan sering kali akan mengakibatkan
penyimpangan dari pokok pembicaraan.
j. Mendominir
pembicaraan, dan lain sebagainya.
2.2 Komunikasi pada Gangguan
Penglihatan
Kemampuan
individu untuk melihat dimungkinkan oleh organ yang disebut mata. Sistem ini
terdiri atas organ-organ yang menerima dan memfokuskan cahaya yang masuk ke
dalam mata, sel-sel reseptor penglihatan yang menangkap bayangan, yang disebut
fotoreseptor dan serabut saraf (nervus optikus) yang membawa input sensori dari
fotoreseptor menuju ke otak untuk dipersepsi oleh otak.
Bola mata (bulbus okuli)
terdiri atas tiga lapisan (tunika), yaitu:
1. Tunika fibrosa di bagian luar
Tunika fibrosa merupakan lapisan yang terdiri atas jaringan ikat padat dan tidak mengandung pembuluh darah. Pada bagian depan (seperenam bagian), lapisan tunika ini membentuk kornea yang merupakan lapisan jernih dan lapisan di bagian belakang disebut sklera, yang berwarna keruh (putih)
2. Tunika vaskuola (uvea) di bagian tengah
Tunika vaskuola adalah lapisan tengah dinding bola mata, yang disebut uvea. Uvea berpigmen terdapat pada tiga area, yaitu koroid, korpus siliaris dan iris. Koroid merupakan lima per enam bagian posterior uvea, banyak mengandung pembuluh darah dan berperan penting dalam memenuhi kebutuhan nutrisi pada semua lapisan dinding bola mata. Pada bagian anterior terbentuk korpus siliaris yang merupakan jaringan tebal berbentuk anyaman dan mengandung otot polos, yang berfungsi mengatur ketebalan lensa mata dalam kegiatan akomodasi mata.
1. Tunika fibrosa di bagian luar
Tunika fibrosa merupakan lapisan yang terdiri atas jaringan ikat padat dan tidak mengandung pembuluh darah. Pada bagian depan (seperenam bagian), lapisan tunika ini membentuk kornea yang merupakan lapisan jernih dan lapisan di bagian belakang disebut sklera, yang berwarna keruh (putih)
2. Tunika vaskuola (uvea) di bagian tengah
Tunika vaskuola adalah lapisan tengah dinding bola mata, yang disebut uvea. Uvea berpigmen terdapat pada tiga area, yaitu koroid, korpus siliaris dan iris. Koroid merupakan lima per enam bagian posterior uvea, banyak mengandung pembuluh darah dan berperan penting dalam memenuhi kebutuhan nutrisi pada semua lapisan dinding bola mata. Pada bagian anterior terbentuk korpus siliaris yang merupakan jaringan tebal berbentuk anyaman dan mengandung otot polos, yang berfungsi mengatur ketebalan lensa mata dalam kegiatan akomodasi mata.
3. Tunika Sensoris
Tunika sensoris mengandung
fotoreseptor yang berfungsi menerima rangsang cahaya. Tunika sensoris, disebut
juga retina, merupakan lapisan yang banyak mengandung saraf. Lapisan paling
luar pada retina adalah lapisan yang mengandung pigmen yang langsung melekat
pada koroid. Di bawah lapisan ini terdapat lapis bening yang mengandung
fotoreseptor, neuron bipoler dan sel-sel ganglion. Pada daerah posterior lapisan
tunika sensoris ini terdapat suatu titik yang tidak mengandung fotoreseptor
sehingga dikenal pula sebagai titik buta (blind spot). Fotoreseptor yang
terdapat dalam tunika sensoris terdiri atas dua jenis sel yaitu sel-sel konus
(kerucut) dan basili (batang). Sel konus berfungsi menerima rangsang cahaya
terang dan rangsang berupa warna, sedangkan sel basili berfungsi melihat sinar
yang remang-remang dan cenderung gelap dan tidak dapat membedakan warna. Secara
umum, jumlah sel berbentuk batang lebih banyak daripada bentuk kerucut.
Mekanisme penerimaan sinar hingga dapat dipersepsi adalah sebagai berikut : Sinar yang dipantulkan ke dalam bola mata akan diterima, secara berurut, melalui kornea, melewati lubang pupil (sebagai pengatur banyak sedikitnya cahaya yang masuk, lensa mata, korpus viterus, dan akhirnya diterima oleh retina pada fovea sentralis). Media yang dilalui cahaya sebelum jatuh pada retina disebut media refraksi. Selanjutnya sinar yang telah jatuh ke retina akan ditangkap oleh sel-sel konus dan sel basili yang selanjutnya dihantarkan menuju otak sebagai impuls saraf. Hasil penerimaan rangsang saraf ini kemudian dibawa ke otak untuk dipersepsikan sebagai citra (gambaran) dalam persepsi manusia.
Gangguan penglihatan dapat terjadi baik karena kerusakan organ, misal kornea, lensa mata, kekeruhan humor vitreus, maupun kerusakan kornea serta kerusakan saraf penghantar impuls menuju otak. Kerusakan di tingkat persepsi antara lain dialami klien dengan kerusakan otak. Semua ini mengakibatkan penurunan visus hingga dapat menyebabkan kebutaan, baik parsial maupun total. Akibat kerusakan visual, kemampuan menangkap rangsang ketika berkomunikasi sangat tergantung pada pendengaran dan sentuhan. Oleh karena itu, komunikasi yang dilakukan harus mengoptimalkan fungsi pendengaran dan sentuhan karena fungsi penglihatan sedapat mungkin harus digantikan oleh informasi yang dapat ditransfer melalui indra yang lain. Sebagai contoh, ketika melakukan orientasi ruang perawatan, klien harus mendapat keterangan yang memvisualisasi kondisi ruang rawat secara lisan, misalnya dengan menerangkan letak meja dan kursi, menerangkan berapa langkah posisi tempat tidur dari pintu, letak kamar mandi dan sebagainya.
Mekanisme penerimaan sinar hingga dapat dipersepsi adalah sebagai berikut : Sinar yang dipantulkan ke dalam bola mata akan diterima, secara berurut, melalui kornea, melewati lubang pupil (sebagai pengatur banyak sedikitnya cahaya yang masuk, lensa mata, korpus viterus, dan akhirnya diterima oleh retina pada fovea sentralis). Media yang dilalui cahaya sebelum jatuh pada retina disebut media refraksi. Selanjutnya sinar yang telah jatuh ke retina akan ditangkap oleh sel-sel konus dan sel basili yang selanjutnya dihantarkan menuju otak sebagai impuls saraf. Hasil penerimaan rangsang saraf ini kemudian dibawa ke otak untuk dipersepsikan sebagai citra (gambaran) dalam persepsi manusia.
Gangguan penglihatan dapat terjadi baik karena kerusakan organ, misal kornea, lensa mata, kekeruhan humor vitreus, maupun kerusakan kornea serta kerusakan saraf penghantar impuls menuju otak. Kerusakan di tingkat persepsi antara lain dialami klien dengan kerusakan otak. Semua ini mengakibatkan penurunan visus hingga dapat menyebabkan kebutaan, baik parsial maupun total. Akibat kerusakan visual, kemampuan menangkap rangsang ketika berkomunikasi sangat tergantung pada pendengaran dan sentuhan. Oleh karena itu, komunikasi yang dilakukan harus mengoptimalkan fungsi pendengaran dan sentuhan karena fungsi penglihatan sedapat mungkin harus digantikan oleh informasi yang dapat ditransfer melalui indra yang lain. Sebagai contoh, ketika melakukan orientasi ruang perawatan, klien harus mendapat keterangan yang memvisualisasi kondisi ruang rawat secara lisan, misalnya dengan menerangkan letak meja dan kursi, menerangkan berapa langkah posisi tempat tidur dari pintu, letak kamar mandi dan sebagainya.
Berikut adalah teknik-teknik yang perlu diperhatikan selama
berkomunikasi dengan klien yang mengalami gangguan penglihatan :
1.Sedapat mungkin ambil posisi yang dapat dilihat klien bila ia mengalami kebutaan parsial atau sampaikan secara verbal keberadaan/ kehadiran perawat ketika anda berada dekatnya.
2. Identifikasi diri anda dengan menyebutkan nama (dan peran) anda.
3. Berbicara dengan menggunakan nada suara normal karena kondisi klien tidak memungkinkannya menerima pesan non verbal secara visual. Nada suara anda memegang peranan besar dan bermakna bagi klien.
4. Terangkan alasan anda menyentuh atau mengucapkan kata-kata sebelum melakukan sentuhan pada klien.
5. Ketika anda akan meninggalkan ruangan atau hendak memutus komunikasi/ pembicaraan, informasikan kepadanya.
6. Orientasikan klien pada suara-suara yang terdengar di sekitarnya
7. Orientasikan klien pada lingkungannya bila klien di pindah ke lingkungan yang asing baginya
1.Sedapat mungkin ambil posisi yang dapat dilihat klien bila ia mengalami kebutaan parsial atau sampaikan secara verbal keberadaan/ kehadiran perawat ketika anda berada dekatnya.
2. Identifikasi diri anda dengan menyebutkan nama (dan peran) anda.
3. Berbicara dengan menggunakan nada suara normal karena kondisi klien tidak memungkinkannya menerima pesan non verbal secara visual. Nada suara anda memegang peranan besar dan bermakna bagi klien.
4. Terangkan alasan anda menyentuh atau mengucapkan kata-kata sebelum melakukan sentuhan pada klien.
5. Ketika anda akan meninggalkan ruangan atau hendak memutus komunikasi/ pembicaraan, informasikan kepadanya.
6. Orientasikan klien pada suara-suara yang terdengar di sekitarnya
7. Orientasikan klien pada lingkungannya bila klien di pindah ke lingkungan yang asing baginya
2.3 Komunikasi Pada Klien dengan
Gangguan Pendengaran
Gangguan
pendengaran dapat terjadi berupa penurunan pendengaran hingga tuli. Bentuk tuli
yang selama ini dikenal ialah tuli perspektif dan tuli konduktif. Tuli
perspektif adalah tuli yang terjadi akibat kerusakan sistem saraf, sedangkan
tuli konduktif terjadi akibat kerusakan struktur panghantar rangsang suara.
Gangguan
pendengaran dibagi dalam 3 kelompok besar yaitu :
1. Conductive hearing Loss, disebabkan oleh masalah yang terjadi pada telinga luar atau tengah
dan berkaitan dengan masalah penghantaran suara.Kemungkinan penyebab bisa dari
tertumpuknya earwax atau kotoran telinga, infeksi atau pertumbuhan telinga
bagian luar, adanya lubang pada gendang telinga, penyakit yang disebut dengan
otosklerosis (yang menyebabkan rangkaian tulang-tulang pendengaran menjadi kaku
dan tidak dapat bergetar) atau faktor keturunan. Conductive hearing loss
biasanya bisa disembuhkan secara medis, namun bila tidak dapat maka alat bantu
dengar biasanya dapat membantu mengatasinya.
2. Sensorineural hearing loss, ini
adalah istilah untuk menggambarkan adanya masalah pada telinga bagian dalam,
baik di cochlea, syaraf pendengaran atau sistim pendengaran pusat (sering disebut
tuli syaraf). Gangguan dengan tipe ini bisa disebabkan oleh berbagai hal namun
kebanyakan disebabkan oleh kerusakan pada sel rambut didalam cochlea akibat
penuaan, atau rusak akibat suara yang terlalu keras. 90% gangguan pendengaran
adalah tipe Sensorineural hearing loss & jarang yang bisa diatasi secara
medis, namun seringkali alat bantu dengar dapat membantu.
3. Mixed Hearing Loss (gangguan pendengaran
campuran), dimana kondisi gangguan pendengarannya ada unsur konduktif &
sensorineural. Banyak orang dengan gangguan pendengaran jenis ini dapat
terbantu bila memakai alat bantu dengar.
Berdasarkan
kemampuan telinga menangkap bunyi, gangguan pendengaran dikelompokkan
menjadi :
1. Gangguan
pendengaran sangat ringan(27-40dB)
2. Gangguan
pendengaran ringan(41-55dB).
3. Gangguan
pendengaran sedang(56-70dB).
4. Gangguan
pendengaran berat(71-90dB).
5. Gangguan
pendengaran ekstrim/tuli(di atas 91dB
Pada klien
dengan gangguan pendengaran, media komunikasi yang paling sering digunakan
ialah media visual. Klien menangkap pesan bukan dari suara yang di keluarkan
orang lain, tetapi dengan mempelajari gerak bibir lawan bicaranya. Kondisi
visual menjadi sangat penting bagi klien ini sehingga dalam melakukan
komunikasi, upayakan supaya sikap dan gerakan anda dapat ditangkap oleh indra
visualnya.
Hal-hal
yang perlu diperhatikan sebelum berkomunikasi dengan klien gangguan pendengaran
:
1. Periksa
adanya bantuan pendengaran dan kaca mata
2. Kurangi
kebisingan
3. Dapatkan
perhatian klien sebelum memulai pembicaraan
4. Berhadapan
dengan klien dimana ia dapat melihat mulut anda
5. Jangan
mengunyah permen karet
6.
Bicara pada volume suara normal - jangan teriak
7.
Susun ulang kalimat anda jika klien salah mengerti
8.
Sediakan penerjemah bahasa isyarat jika diindiksikan
Berikut
adalah tehnik-tehnik komunikasi yang dapat digunakan klien dengan pendengaran :
1.
Orientasikan kehadiran diri
anda dengan cara menyentuh klien atau memposisikan diri di depan klien.
2.
Usahakan menggunakan bahasa
yang sederhana dan bicaralah dengan perlahan
untuk memudahkan klien
membaca gerak bibir anda
3. Usahakan berbicara dengan
posisi tepat di depan klien dan pertahankan sikap tubuh dan mimik wajah yang
lazim.
4. Tunggu sampai Anda secara langsung di depan orang, Anda memiliki
perhatian individu tersebut dan Anda cukup dekat dengan orang sebelum Anda
mulai berbicara.
5. Pastikan bahwa individu
melihat Anda pendekatan, jika kehadiran Anda mungkin terkejut orang tersebut.
6. Wajah-keras mendengar
orang-langsung dan berada di level yang sama dengan dia sebisa mungkin.
7. Jangan melakukan pembicaraan
ketika anda sedang mengunyah sesuatu misalnya makanan atau permen karet.
8. Jika Anda makan, mengunyah atau
merokok sambil berbicara, pidato Anda akan lebih sulit untuk mengerti.
9. Gunakan bahasa pantomim bila
memungkinkan dengan gerakan sederhana dan perlahan.
10. Gunakan bahasa isyarat atau
bahasa jari bila anda bisa dan diperlukan.
11. Apabila ada sesuatu yang
sulit untuk dikomunikasikan, cobalah sampaikan pesan dalam bentuk tulisan atau
gambar (simbol).
12. Jika orang yang memakai alat
bantu dengar dan masih memiliki kesulitan mendengar, periksa untuk melihat
apakah alat bantu dengar di telinga orang. Juga periksa untuk melihat bahwa
dihidupkan, disesuaikan dan memiliki baterai bekerja. Jika hal-hal ini baik dan
orang yang masih memiliki kesulitan mendengar, mencari tahu kapan dia terakhir
memiliki evaluasi pendengaran.
13. Jauhkan tangan Anda dari
wajah Anda saat berbicara.
14. Mengakui bahwa
hard-of-mendengar orang mendengar dan memahami kurang baik ketika mereka lelah
atau sakit.
15. Mengurangi atau
menghilangkan kebisingan latar belakang sebanyak mungkin ketika melakukan pembicaraan.
16. Bicaralah dengan cara yang
normal tanpa berteriak. Melihat bahwa lampu tidak bersinar di mata orang tuna
rungu.
17. Jika seseorang telah
memahami sesuatu kesulitan, menemukan cara yang berbeda untuk mengatakan hal
yang sama, bukan mengulangi kata-kata asli berulang.
18. Gunakan sederhana, kalimat
singkat untuk membuat percakapan anda lebih mudah untuk mengerti.
19. Menulis pesan jika perlu.
Biarkan waktu yang cukup untuk berkomunikasi dengan orang gangguan pendengaran.
Berada di terburu-buru akan membawa stres semua orang dan menciptakan hambatan
untuk memiliki percakapan yang berarti.
2.4 Contoh
Komunikasi Teraupetik Dengan Klien Gangguan Pendengaran
a.
Pra-Interaksi
“ Di Rumah
sakit X di kamar Y terdapat seorang pasien yang bernama Wahyudin
umur 13 tahun dimana ia sekarang sedang duduk di bangku kelas 2 SMP, ia
menderita penyakit gangguan pendengaran sejak kecil (tuna rungu), di rumah
sakit tersebut ia ditemani oleh ayahnya yang bernama Irawan, dimana wahyudin
tersebut sedang menjalani perawatan dengan penyakit dehidrasi, disana dia
dirawat oleh suster liska “.
b.
Fase Orientasi
Nama
|
Komunikasi Verbal
|
Komunikasi Nonverbal
|
Perawat
|
Assalamualaikum pak, selamat pagi
|
tersenyum
|
Orang tua
|
Waalaikumsalam, pagi juga
|
|
Perawat
|
Pak nama saya suster liska, disini saya akan
membantu anak bapak selama dirawat,
|
|
Orang tua
|
Iya suster silahkan
|
|
Perawat
|
Bagaimana keadaan anak bapak hari ini?
|
|
Orang tua
|
Sudah agak mendingan suster, panasnya sudah turun
|
|
Perawat
|
wah ada perkembangan ya pak,
|
|
Orang tua
|
Iya suster.
|
|
“Suster langsung mendekati wahyudin ”
|
||
Perawat
|
Selamat pagi,
|
Sambil menyentuh pasien
|
Pasien
|
Kebingungan tidak tahu apa yang dikatakan perawat
|
|
Perawat
|
De Wahyudin, nama saya suster liska
|
Melakukan kontak mata dan berbicara dengan gerakan
bibir pelan
|
Pasien
|
Masih kebingungan
|
|
Perawat
|
Saya suster liska
|
Sambil menunjuk diri sendiri dan menunjukan papan
nama
|
Pasien
|
Suster liska,
|
Sambil tersenyum
|
Perawat
|
Iya saya suster liska
|
Dengan gerakan bibir pelan
|
Pasien
|
Maaf ya suster, saya gak bisa dengar
|
Tersenyum
|
Perawat
|
Iya tidak apa-apa de,
|
Mengangguk sambil tersenyum
|
Pasien
|
Hanya tersenyum
|
c.
Fase Kerja
Nama
|
Komunikasi Verbal
|
Komunikasi Nonverbal
|
Perawat
|
De, udah minum berapa gelas hari ini ?
|
Bicara dengan bibir pelan dan Mengambil, menunjukan
gelas
|
Pasien
|
Udah suster
|
|
Perawat
|
Berapa de ?
|
Simbil menunjujkan, 1 jari, 2 jari, 3 jari
|
Pasien
|
Satu
|
Pasien menunjukan 1 jari
|
Perawat
|
Bagus
|
Memberikan jempol
|
Pasien
|
Tersenyum
|
|
Perawat
|
Nanti minum lagi ya
|
Sambil mempraktekan minum
|
Pasien
|
Mengangguk
|
|
perawat
|
Tersenyum sambil memberikan jempol
|
|
Udah makan juga?
|
sambil mengerakan tangan ke mulut (seperti menyuap)
|
|
Pasien
|
Udah, pake bubur
|
Mengguk ,tersenyum
|
Perawat
|
Memberikan jempol lagi
|
|
Biar cepet sembuh ya
|
Mengagkat lengan, (seperti menunjukan kekuatan)
|
|
Pasien
|
Iya suster
|
Tersenyum
|
d.
Fase Terminasi
Nama
|
Komunikasi Verbal
|
Komunikasi Nonverbal
|
Perawat
|
De, suster tinggal dulu ya
|
Menyentuh pasien, menunjuk diri, kemudian menunjuk
pintu
|
Pasien
|
Iya suster
|
Sedih
|
Perawat
|
Jangan sedih
|
Menyentuh pasien, menatap mata, Meninjukan senyum
lebar
|
Nanti suster kesini lagi
|
Mmenunjuk diri sendiri, dan ke bawah
|
|
Pasien
|
Bener ya suster
|
Senang
|
Perawat
|
Iya,
|
Tersenyum sambil mengaguk
|
Perawat
|
Suster boleh pergi
|
Sambil menunjuk pintu
|
Pasien
|
Mengangguk tersenyum
|
|
“Kemudian
perawat menghampiri orang tua pasien”
|
||
Perawat
|
Bapak, saya permisi dulu ya, kalau ada apa-apa,
panggil saya atau perawat yang lain ya pak
|
|
Orang tua
|
Iya suster pasti
|
|
Perawat
|
Ya sudah, saya permisi dulu ya pak,Assalamualaikum..
|
Tersenyum
|
Orang tua
|
Iya suster, waalaikumsalam….
|
tersenyum
|
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Hubungan
perawat klien yang terapeutik adalah pengalaman belajar bersama dan pengalaman perbaikan emosi bagi
klien. Dalam hal ini perawat memakai dirinya secara terapeutik dan memakai
beberapa tehnik komunikasi agar perilaku klien berubah kearah yang positif
seoptimal mungkin.
Gangguan penglihatan dapat terjadi baik karena kerusakan
organ, misal kornea, lensa mata, kekeruhan humor vitreus, maupun kerusakan
kornea serta kerusakan saraf penghantar impuls menuju otak. Kerusakan di
tingkat persepsi antara lain dialami klien dengan kerusakan otak. Semua ini
mengakibatkan penurunan visus hingga dapat menyebabkan kebutaan, baik parsial
maupun total. Akibat kerusakan visual, kemampuan menangkap rangsang ketika
berkomunikasi sangat tergantung pada pendengaran dan sentuhan
Gangguan
pendengaran dapat terjadi berupa penurunan pendengaran hingga tuli. Bentuk tuli
yang selama ini dikenal ialah tuli perspektif dan tuli konduktif. Tuli
perspektif adalah tuli yang terjadi akibat kerusakan sistem saraf, sedangkan
tuli konduktif terjadi akibat kerusakan struktur panghantar rangsang suara.
Gangguan pendengaran dibagi dalam 3 kelompok
besar yaitu Conductive hearing Loss, Sensorineural hearing loss dan Mixed Hearing
Loss.
Pada klien dengan gangguan pendengaran, media
komunikasi yang paling sering digunakan ialah media visual. Klien menangkap
pesan bukan dari suara yang dikeluarkan orang lain, tetapi dengan mempelajari
gerak bibir lawan bicaranya. Kondisi visual menjadi sangat penting bagi klien
ini sehingga dalam melakukan komunikasi, upayakan supaya sikap dan gerakan anda
dapat ditangkap oleh indra visualnya.
Agar
perawat dapat berperan efektif dan terapeutik ia harus menganalisa dirinya :
kesadaran diri, klarifikasi nilai, perasaan, kemampuan sebagai rool model.
Seluruh perilaku dan pesan yang disampaikan perawat verbal atau non verbal
hendaknya bertujuan terapeutik untuk klien.
1.2 Saran
Perawat
harus bisa menghadapi klien dengan gangguan penglihatan agar terjadi hubungan
terapeutik dengan klien. Walaupun pasien tidak dapat mendengar , perawat harus
merawat klien dengan baik dan perawat tidak boleh menyepelekan klien tersebut
dan mendahulukan kebutuhan klien lain yang tidak mengalami gangguan persepsi
sensori, khususnya gangguan pendengaran.
Langganan:
Postingan (Atom)