PSIKOLOGI
PERASAAN
EMOSI STRESS DAN ADAPTASI
DISUSUN
OLEH:
Kelompok
1
NAMA ANGGOTA:
·
Luthfia Fadlillahsari
·
Marina Lestari
·
Ade Putri Gaya tri
·
Lestari Damayanti
·
M. Moch Chandra Bara
·
Meisa Kurniawati
KELAS
: I.D
DOSEN
PEMBIMBING : HANNA L DAMANIK,SKM,MKM
KEMENTRIAN
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK
KESEHATAN PALEMBANG
JURUSAN
KEPERAWATAN
2013/2014
Kata
Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul:
“PERASAAN
EMOSI DAN STRES ADAPTASI”
Pembuatan
makalah dimaksudkan untuk memenuhi tugas yang di berikan Guru sebagai bahan
pembelajaran dan penilaian.
kami
menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami telah berupaya
dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat diselesai
dengan baik. Oleh karena itu, masukan, saran, kritik, dan usul yang sifatnya
untuk perbaikan dari berbagai pihak khususnya Bapak/Ibu serta rekan – rekan sangat diharapkan untuk
penyempurnaan makalah ini
kami
ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberi masukan
sehingga makalah ini dapat di selesaikan dan kami berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Palembang, November 2013
Tim
penyusun
DAFTAR ISI
Cover
Kata pengantar………………………………………………………...………..i
Daftar Isi…………………………………………………………...…………..ii
Bab I Pendahuluan……………………………………………………………..1
A. Latar Belakang……………………………………………………...1
B. Permasalahan Kasus Stress……………………………………….1-2
Bab II Landasan Teori…………………………………………..……………..3
A.Teoritis Dari Stress…………………………………….. …………..3
B.Teoritis Emosi……………………………………………..……...3-4
C. Teori Adaptasi……………………………………..……………..4-7
Kata pengantar………………………………………………………...………..i
Daftar Isi…………………………………………………………...…………..ii
Bab I Pendahuluan……………………………………………………………..1
A. Latar Belakang……………………………………………………...1
B. Permasalahan Kasus Stress……………………………………….1-2
Bab II Landasan Teori…………………………………………..……………..3
A.Teoritis Dari Stress…………………………………….. …………..3
B.Teoritis Emosi……………………………………………..……...3-4
C. Teori Adaptasi……………………………………..……………..4-7
D. Teori
Perasaan…………………………………………………....7-8
Bab
III Pembahasan………………….………………………………………..9
A. Konsep
Perilaku Abnormal…………………………………..10-15
B. Perasaan……………………………………………………...15-18
C. Emosi………………………………………………………...18-20
D. Stress………………………………………………………....20-23
E. Adaptasi……………………………………………………...24-25
Bab
IV Kesimpulan………………………………………………………....26
Daftar
Pusaka…………………………….....................................................27
BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Manusia
harus selalu menyesuaikan diri dengan kehidupan dunia yang selalu berubah-ubah.
Manusia sebagaimana ia ada pada suatu ruang dan waktu, merupakan hasil
interaksi antara jasmani,rohani, dan lingkungan. Ketiga unsur tersebut saling
berhubungan dengan satu dan lainnya. Dalam segala masalah, kita harus
mempertimbangkan ketiganya sebagai suatu keseluruhan(holistic) sehingga manusia
disebut makhluk somato-psiko-sosial.
Oleh
karena itu, apabila terjadi gangguan pada jasmani, akan menimbulkan usaha
penyesuaian secara fisik atau somatic. Demikian pula apabila terjadi gangguan
pada unsur rohani, kan menimbulkan usaha penyesuaian secara psikologi.usaha
yang dilakukan organism untuk mengatasi stress agar terjadi keseimbangan yyang
terus menerus dalam batas tertentu dan tetap dapat mempertahankan hidup
dinamakan homeostatis.
Sumber
gangguan jasmani(somatik) maupun psikologis adalah stress. Apabila kita mampu
mengatasi keadaan stress, perilaku kita cenderung berorientasi pada tugas, yang
intinya untuk menghadapi tuntutan keadaan. Namun,apabila stress mengancam
perasaan, kemampuan,dan harga diri kita, reaksi kita cenderung pada orientasi
pembelaan ego. Penyesuaian yang berorientasi pada tugas disebut adaptasi dan
yang berorientasi pada pembelaan ego disebut mekanisme pertahanan diri.
2. Permasalahan
Kasus Stress
Dewasa ini perubahan tata nilai kehidupan berjalan
begitu cepat karena pengaruh globalisasi, modernisasi,
informasi,industrialisasi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal tersebut
berpengaruh terhadap pola hidup, moral dan etika. Beberapa contoh perubahan
pola hidup misalnya, pola hidup social religious berubah individualistis,
materialistis, dan sekuler.
Perubahan psikososial dapat merupakan tekanan mental
sehingga bagi sebagian individu dapat menimbulkan perubahan dalam kehidupan dan
berusaha beradaptasi untuk menanggulanginya. Stressor psikolososial, seperti
perceraian karena tidak diamalkannya kehidupan religious dalam rumah tangga,
masalah orang tua dengan banyakknya kenakalan remaja, hubungan interpersonal
yang tidak baik dengan teman, pemutusan hubungan kerja, lingkungan hidup,
keuangan, hokum, tahap perkembangan dalam siklus kehidupan.
BAB II
LANDASAN TEORI
Model Teoritis dari Stress
1. General
Adaptation Syndrome
Dikemukakan oleh Hans Selye (1982)
Menurut teori ini, stress adalah
reaksi pertahanan tubuh secara keseluruhan terhadapsumber-sumber penyebab
stress/stressor * Terbagi atas 3 proses :- The initial alarm reaction;
tubuh bereraksi terhadap tantangan/ancaman dari luar - Resistance Stage;
suhu tubuh normal, tetapi adrenalin tetap dikeluarkan (bertahan,berdaptasi)
sehingga kondisi fisiologis tetap terjaga- Exhaustion Stage; masa kelelahan,
bila terus berlangsung akan mengakibatkan kematian
2. The
Stress Life Events Model Dikemukakan
oleh Holmes & Rahe (1967), Holmes & Matsubi (1972)
Mereka setuju dengan pendapat Selye bahwa kejadian khusus
dalam kehidupan dapatmemberikan efek secara fisik . Penelitian mereka
bertujuan untuk mengidentifikasikan kejadian-kejadian khusus dalamkehidupan yang
menjadi penyebab dari stress* Menurut teori ini, stress muncul sewaktu-waktu
berdasarkan atas kejadian yang dialamiindividu dimana kejadian itu menimbulkan
perilaku coping dan respon adaptif * Mereka menyusun Social Readjustment
Rating Scale, yang berisikan kejadian-kejadiandalam kehidupan yang
dikorelasikan dengan gejala-gejala gangguan penyakit.
Teori Emosi
Lebih lanjut
Kartini Kartono (1990:90) mengungkapkan beberapa teori tentang perasaan yang
dapat dikelompokkan menjadi 5 kelompok yaitu:
1. Teori Skolastik; yaitu menganggap
bahwa perasaan itu sebagai bagian dari stadium awal dari keinginan atau sebagai
satu bentuk keinginan, namun belum diiringi dengan dorongan aktivitas.
Merupakan kesiapan untuk menumbuhkan keinginan.
2.Teori
Biologis, yaitu melihat perasaan sebagai onderdil pengikat antara
pengamatan dan
perbuatan.
Perasaan itu memberikan nilai kepada pengamatan yaitu merupakan gaya gerak
untuk perbuatan reaktif. Dalam hal ini perasaan-perasaan itu
bersifat teleologis yaitu terarah pada satu tujuan.
3.Teori
Intelektuilitis; yaitu bahwa perasaan merupakan perihal tanggapan.
Disebabkan oleh sifatnya yang sangat dinamis, tanggapan-tanggapan yang jelas
dan terasosiasi satu sama lain akan memperlancar berlangsungnya perasaan.
4.Teori
Voluntaristis; yaitu yang primer bukannya pengenalan, akan tetapi perasaan
dan kemauan. Awal dari kemauan itulah yang disebut dengan perasaan.
5. Teori sensualistis dan teori fisiologis,
yaitu anggapan bahwa gejala-gejala fisik atau jasmaniah yang muncul sewaktu
kita mendapat kesan-kesan tertentu misalnya berupa perubahan pernafasan,
kontraksi otot dan lain-lain adalah penyebab dari emosi-emosi tersebut.
Teori adaptasi
Model konsep adaptasi pertama kali dikemukakan oleh Suster
Callista Roy (1969). Konsep ini dikembangkan dari konsep individu dan proses
adaptasi seperti diuraikan di bawah ini. Asumsi dasar model adaptasi Roy adalah :
1. Manusia adalah keseluruhan dari biopsikologi dan sosial
yang terus-menerus berinteraksi dengan lingkungan.
2. Manusia menggunakan mekanisme pertahanan untuk mengatasi
perubahan-perubahan biopsikososial.
3. Setiap orang memahami bagaimana individu mempunyai batas
kemampuan untuk beradaptasi. Pada dasarnya manusia memberikan respon terhadap
semua rangsangan baik positif maupun negatif.
4. Kemampuan adaptasi manusia berbeda-beda antara satu
dengan yang lainnya, jika seseorang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan
maka ia mempunyai kemampuan untuk menghadapi rangsangan baik positif maupun
negatif.
5. Sehat dan sakit merupakan adalah suatu hal yang tidak
dapat dihindari dari kehidupan manusia.
Dalam asuhan keperawatan, menurut Roy (1984) sebagai
penerima asuhan keperawatan adalah individu, keluarga, kelompok, masyarakat
yang dipandang sebagai “Holistic adaptif system”dalam segala aspek yang
merupakan satu kesatuan.
System adalah Suatu kesatuan yang di hubungkan karena
fungsinya sebagai kesatuan untuk beberapa tujuan dan adanya saling ketergantungan
dari setiap bagian-bagiannya. System terdiri dari proses input, autput, kontrol
dan umpan balik ( Roy, 1991 ), dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Input
Roy mengidentifikasi bahwa input sebagai stimulus, merupakan
kesatuan informasi, bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang dapat
menimbulkan respon, dimana dibagi dalam tiga tingkatan yaitu stimulus fokal,
kontekstual dan stimulus residual.
a. Stimulus fokal yaitu stimulus yang langsung
berhadapan dengan seseorang, efeknya segera, misalnya infeksi .
b. Stimulus kontekstual yaitu semua stimulus lain yang
dialami seseorang baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi situasi dan
dapat diobservasi, diukur dan secara subyektif dilaporkan. Rangsangan ini
muncul secara bersamaan dimana dapat menimbulkan respon negatif pada stimulus
fokal seperti anemia, isolasi sosial.
c. Stimulus residual yaitu ciri-ciri tambahan yang ada
dan relevan dengan situasi yang ada tetapi sukar untuk diobservasi meliputi
kepercayan, sikap, sifat individu berkembang sesuai pengalaman yang lalu, hal
ini memberi proses belajar untuk toleransi. Misalnya pengalaman nyeri pada
pinggang ada yang toleransi tetapi ada yang tidak.
2. Kontrol
Proses kontrol seseorang menurut Roy adalah bentuk mekanisme
koping yang di gunakan. Mekanisme kontrol ini dibagi atas regulator dan
kognator yang merupakan subsistem.
a) Subsistem regulator.
Subsistem regulator mempunyai komponen-komponen :
input-proses dan output. Input stimulus berupa internal atau eksternal.
Transmiter regulator sistem adalah kimia, neural atau endokrin. Refleks otonom
adalah respon neural dan brain sistem dan spinal cord yang diteruskan sebagai
perilaku output dari regulator sistem. Banyak proses fisiologis yang dapat
dinilai sebagai perilaku regulator subsistem.
b) Subsistem kognator.
Stimulus untuk subsistem kognator dapat eksternal maupun
internal. Perilaku output dari regulator subsistem dapat menjadi stimulus umpan
balik untuk kognator subsistem. Kognator kontrol proses berhubungan dengan
fungsi otak dalam memproses informasi, penilaian dan emosi. Persepsi atau
proses informasi berhubungan dengan proses internal dalam memilih atensi,
mencatat dan mengingat. Belajar berkorelasi dengan proses imitasi,
reinforcement (penguatan) dan insight (pengertian yang mendalam). Penyelesaian
masalah dan pengambilan keputusan adalah proses internal yang berhubungan
dengan penilaian atau analisa. Emosi adalah proses pertahanan untuk mencari
keringanan, mempergunakan penilaian dan kasih sayang.
3. Output.
Output dari suatu sistem adalah perilaku yang dapt di amati,
diukur atau secara subyektif dapat dilaporkan baik berasal dari dalam maupun
dari luar .Perilaku ini merupakan umpan balik untuk sistem. Roy mengkategorikan
output sistem sebagai respon yang adaptif atau respon yang tidak mal-adaptif.
Respon yang adaptif dapat meningkatkan integritas seseorang yang secara
keseluruhan dapat terlihat bila seseorang tersebut mampu melaksanakan tujuan
yang berkenaan dengan kelangsungan hidup, perkembangan, reproduksi dan
keunggulan.Sedangkan respon yang mal adaptif perilaku yang tidak mendukung
tujuan ini.
Roy telah menggunakan bentuk mekanisme koping untuk
menjelaskan proses kontrol seseorang sebagai adaptif sistem. Beberapa mekanisme
koping diwariskan atau diturunkan secara genetik (misal sel darah putih)
sebagai sistem pertahanan terhadap bakteri yang menyerang tubuh. Mekanisme yang
lain yang dapat dipelajari seperti penggunaan antiseptik untuk membersihkan
luka. Roy memperkenalkan konsep ilmu Keperawatan yang unik yaitu mekanisme
kontrol yang disebut Regulator dan Kognator dan mekanisme tersebut merupakan
bagian sub sistem adaptasi.
Dalam memahami konsep model ini, Callista Roy mengemukakan
konsep keperawatan dengan model adaptasi yang memiliki beberapa pandangan atau
keyakinan serta nilai yang dimilikinya diantaranya:
1. Manusia sebagai makhluk biologi, psikologi dan social
yang selalu berinteraksi dengan lingkungannya.
2. Untuk mencapai suatu homeostatis atau terintegrasi,
seseorang harus beradaptasi sesuai dengan perubahan yang terjadi.
4. System adaptasi
memiliki empat mode adaptasi diantaranya:
- Pertama, fungsi fisiologis, komponen system
adaptasi ini yang adaptasi fisiologis diantaranya oksigenasi, nutrisi,
eliminasi, aktivitas dan istirahat, integritas kulit, indera, cairan dan
elektrolit, fungsi neurologis dan fungsi endokrin.
- Kedua, konsep diri yang mempunyai pengertian
bagaimana seseorang mengenal pola-pola interaksi social dalam berhubungan
dengan orang lain.
- Ketiga, fungsi peran merupakan proses penyesuaian
yang berhubungan dengan bagaimana peran seseorang dalam mengenal pola-pola
interaksi social dalam berhubungan dengan orang lain
- Keempat, interdependent merupakan kemampuan
seseorang mengenal pola-pola tentang kasih sayang, cinta yang dilakukan melalui
hubungan secara interpersonal pada tingkat individu maupun kelompok.
5. Dalam proses penyesuaian diri individu harus meningkatkan
energi agar mampu melaksanakan tujuan untuk kelangsungan kehidupan,
perkembangan, reproduksi dan keunggulan sehingga proses ini memiliki tujuan
meningkatkan respon adaptasi.
Teori adaptasi suster Callista Roy memandang klien sebagai
suatu system adaptasi. Sesuai dengan model Roy, tujuan dari keperawatan adalah
membantu seseorang untuk beradaptasi terhadap perubahan kebutuhan fisiologis,
konsep diri, fungsi peran, dan hubungan interdependensi selama sehat dan sakit
(Marriner-Tomery,1994). Kebutuhan asuhan keperawatan muncul ketika klien tidak
dapat beradaptasi terhadap kebutuhan lingkungan internal dan eksternal. Seluruh
individu harus beradaptasi terhadap kebutuhan berikut:
1. Pemenuhan kebutuhan fisiologis dasar
2. Pengembangan konsep diri positif
3. Penampilan peran social
4. Pencapaian keseimbangan antara kemandirian dan
ketergantungan
Perawat menetukan kebutuhan di atas menyebabkan timbulnya
masalah bagi klien dan mengkaji bagaimana klien beradaptasi terhadap hal
tersebut.Kemudian asuhan keperawatan diberikan dengan tujuan untuk membantu
klien beradaptasi.
Teori perasaan
Menurut Wund
Seperti dikemukakan
oleh Bimo Walgito (1989), menurut Wund perasaan itu memiliki 3 dimensi,yaitu:
a. Perasaan senang dan tidak senang, misalnya seorang pasien merasa senang karena penyakitnya dinyatakan sembuh oleh dokter atau seorang pasien merasa tidak senang di rawat di suatu rumah sakit karena pelayanannya jelek
a. Perasaan senang dan tidak senang, misalnya seorang pasien merasa senang karena penyakitnya dinyatakan sembuh oleh dokter atau seorang pasien merasa tidak senang di rawat di suatu rumah sakit karena pelayanannya jelek
b. Perasaan excited atau inner feeling, yaitu perasaan yang dialami individu disertai perilaku atau perbuatan yang tampak, misalnya karena diterima masuk akademi keperawatan, perasaannya gembira disertai menari-nari.
c. Perasaan expectancy atau release feeling, yaitu perasaan yang masih dalam pengharapan atau memang betul-betul telah terjadi.
Contoh:
• Alangkah bahagia perasaan saya apabila kelak dapat meneruskan ke Sl Keperawatan setelah lulus D3 Keperawatan.
• Waktu saya dinyatakan diterima di D3 Keperawatan, perasaan saya betul-betul gembira sekali.
Menurut Stem
Sebagaimana dipaparkan oleh Bimo Walgito (1989), yang menyebutkan bahwa perasaan adalah:
a. Perasaan present, yaitu perasaan yang berhubungan dengan situasi aktual atau yang sedang terjadi, misalnya saya merasa senang karena scat ini anak saya bisa kuliah di Akademi Keperawatan.
b. Perasaan yang menjangkau maju, yaitu perasaan yang masih dalam pengharapan, misalnya alangkah gembiranya apabila kelak anak saya menjadi seorang dokter.
c. Perasaan yang berhubungan dengan waktu lampau, misalnya merasa sedih apabila mengingat masa lampu, sewaktu masih anak-anak yang penuh derita.
BAB
III
PEMBAHASAN
I.
KONSEP
PERILAKU ABNORMAL
APAKAH PERILAKU
ABNORMAL ITU?
Ada beberapa
kriteria yang digunakan untuk menentukan suatu perilaku abnormal, antara lain:
1. Statistical infrequency
- Perspektif ini menggunakan pengukuran statistik dimana semua variabel
yang yang akan diukur didistribusikan ke dalam suatu kurva normal atau
kurva dengan bentuk lonceng. Kebanyakan orang akan berada pada bagian
tengah kurva, sebaliknya abnormalitas ditunjukkan pada distribusi di kedua
ujung kurva.
- Digunakan dalam bidang medis atau psikologis. Misalnya mengukur
tekanan darah, tinggi badan, intelegensi, ketrampilan membaca, dsb.
- Namun, kita jarang menggunakan istilah abnormal untuk salah satu kutub
(sebelah kanan). Misalnya orang yang mempunyai IQ 150, tidak disebut
sebagai abnormal tapi jenius.
- Tidak selamanya yang jarang terjadi adalah abnormal. Misalnya seorang
atlet yang mempunyai kemampuan luar biasa tidak dikatakan abnormal. Untuk
itu dibutuhkan informasi lain sehingga dapat ditentukan apakah perilaku
itu normal atau abnormal.
2. Unexpectedness
- Biasanya perilaku abnormal merupakan suatu bentuk respon yang tidak
diharapkan terjadi. Contohnya seseorang tiba-tiba menjadi cemas (misalnya
ditunjukkan dengan berkeringat dan gemetar) ketika berada di tengah-tengah
suasana keluarganya yang berbahagia. Atau seseorang mengkhawatirkan
kondisi keuangan keluarganya, padahal ekonomi keluarganya saat itu sedang
meningkat. Respon yang ditunjukkan adalah tidak diharapkan terjadi.
3. Violation of norms
- Perilaku abnormal ditentukan dengan mempertimbangkan konteks sosial
dimana perilaku tersebut terjadi.
- Jika perilaku sesuai dengan norma masyarakat, berarti normal.
Sebaliknya jika bertentangan dengan norma yang berlaku, berarti abnormal.
- Kriteria ini mengakibatkan
definisi abnormal bersifat relatif tergantung pada norma masyarakat dan
budaya pada saat itu. Misalnya di Amerika pada tahun 1970-an, homoseksual
merupakan perilaku abnormal, tapi sekarang homoseksual tidak lagi dianggap
abnormal.
- Walaupun kriteria ini dapat membantu untuk mengklarifikasi relativitas
definisi abnormal sesuai sejarah dan budaya tapi kriteria ini tidak cukup
untuk mendefinisikan abnormalitas. Misalnya pelacuran dan perampokan yang
jelas melanggar norma masyarakat tidak dijadikan salah satu kajian dalam
psikologi abnormal.
4. Personal distress
- Perilaku dianggap abnormal jika hal itu menimbulkan penderitaan dan
kesengsaraan bagi individu.
- Tidak semua gangguan (disorder) menyebabkan distress. Misalnya
psikopat yang mengancam atau melukai orang lain tanpa menunjukkan suatu
rasa bersalah atau kecemasan.
- Juga tidak semua penderitaan atau kesakitan merupakan abnormal.
Misalnya seseorang yang sakit karena disuntik.
- Kriteria ini bersifat subjektif karena susah untuk menentukan setandar
tingkat distress seseorang agar dapat diberlakukan secara umum.
5. Disability
- Individu mengalami ketidakmampuan (kesulitan) untuk mencapai tujuan
karena abnormalitas yang dideritanya. Misalnya para pemakai narkoba dianggap
abnormal karena pemakaian narkoba telah mengakibatkan mereka mengalami
kesulitan untuk menjalankan fungsi akademik, sosial atau pekerjaan.
- Tidak begitu jelas juga apakah seseorang yang abnormal juga mengalami disability.
Misalnya seseorang yang mempunyai gangguan seksual voyeurisme (mendapatkan
kepuasan seksual dengan cara mengintip orang lain telanjang atau sedang
melakukan hubungan seksual), tidak jelas juga apakah ia mengalami disability
dalam masalah seksual.
Dari semua kriteria
di atas menunjukkan bahwa perilaku abnormal sulit untuk didefinisikan. Tidak
ada satupun kriteria yang secara sempurna dapat membedakan abnormal dari
perilaku normal. Tapi sekurang-kurangnya kriteria tersebut berusaha untuk dapat
menentukan definisi perilaku abnormal. Dan adanya kriteria pertimbangan sosial
menjelaskan bahwa abnormalitas adalah sesuatu yang bersifat relatif dan
dipengaruhi oleh budaya serta waktu.
FAKTOR
– FAKTOR PENENTU ABNORMALITAS
Sebab –
sebab perilaku Abnormal dapat ditinjau dari beberapa sudut, misalnya
berdasarkan tahap berfungsinya dan menurut sumber asalnya. Kedua macam
penggolongan tersebut disajikan sebagai berikut :
A.
MENURUT TAHAP BERFUNGSINYA
Menurut tahap – tahap berfungsinya,
sebab – sebab perilaku abnormal dapat dibedakan sebagai berikut :
1.
Penyebab Primer ( Primary Cause )
Penyebab primer adalah kondisi yang
tanpa kehadirannya suatu gangguan tidak akan muncul. Misalnya infeksi sipilis
yang menyerang system syaraf pada kasus paresis general yaitu sejenis psikosis
yang disertai paralysis atau kelumpuhan yang bersifat progresif atau berkembang
secara bertahap sampai akhirnya penderita mengalami kelumpuhan total. Tanpa
infeksi sipilis gangguan ini tidak mungkin menyerang seseorang.
2. Penyebab yang Menyiapkan ( Predisposing
Cause )
Kondisi yang mendahului dan membuka
jalan bagi kemungkinan terjadinya gangguan tertentu dalam kondisi – kondisi
tertentu di masa mendatang. Misalnya anak yang ditolak oleh orang tuanya (rejected child) mungkin menjadi lebih
rentan dengan tekanan hidup sesudah dewasa dibandingkan dengan orang – orang
yang memiliki dasar rasa aman yang lebih baik
3. Penyebab Pencetus ( Preciptating
Cause )
Penyebab pencetus adalah setiap
kondisi yang tak tertahankan bagi individu dan mencetuskan gangguan. Misalnya seorang wanita muda yang
menjadi terganggu sesudah mengalami kekecewaan berat ditinggalkan oleh
tunangannya. Contoh lain seorang pria setengah baya yang menjadi terganggu
karena kecewa berat sesudah bisnis pakaiannya bangkrut.
4. Penyebab Yang Menguatkan ( Reinforcing Cause )
Kondisi yang cenderung mempertahankan
atau memperteguh tinkah laku maladaptif yang sudah terjadi. Misalnya perhatian yang berlebihan pada
seorang gadis yang ”sedang sakit” justru dapat menyebabkan yang bersangkutan
kurang bertanggungjawab atas dirinya, dan menunda kesembuhannya.
5. Sirkulasi Faktor – Faktor Penyebab
Dalam kenyataan, suatu gangguan
perilaku jarang disebabkan oleh satu penyebab tunggal. Serangkaian faktor
penyebab yang kompleks, bukan sebagai hubungan sebab akibat sederhana melainkan
saling mempengaruhi sebagai lingkaran setan, sering menadi sumber penyebab
sebagai abnormalitas . Misalnya sepasang suami istri menjalani konseling untuk
mengatasi problem dalam hubungan perkawinan mereka. Sang suami menuduh istrinya
senang berfoya – foya sedangkan sang suami hanya asyik dengan dirinya dan tidak
memperhatikannya. Menurut versi sang suami dia jengkel keada istrinya karena
suka berfoya – foya bersama teman – temannya. Jadi tidak lagi jelas mana sebab
mana akibat.
B. MENURUT SUMBER ASALNYA
Berdasarkan sumber asalnya, sebab –
sebab perilaku abnormal dapat digolongkan sedikitnya menjadi tiga yaitu :
1. Faktor Biologis
Adalah berbagai keadaan biologis
atau jasmani yang dapat menghambat perkembangan ataupun fungsi sang pribadi
dalam kehidupan sehari – hari seperti kelainan gen, kurang gizi, penyakit dsb.
Pengaruh – pengaruh faktor biologis lazimnya bersifa menyeluruh. Artinya
mempengaruhi seluruh aspek tingkah laku, mulai dari kecerdasan sampai daya
tahan terhadap stress.
2. Faktor – faktor psikososial
a. Trauma Di Masa Kanak – Kanak
Trauma Psikologis adalah pengalaman
yang menghancurkan rasa aman, rasa mampu, dan harga diri sehingga menimbulkan
luka psikologis yang sulit disembuhkan sepenuhnya. Trauma psikologis yang
dialami pada masa kanak – kanak cenderung akan terus dibawa sampai ke masa
dewasa.
b. Deprivasi Parental
Tiadanya kesempatan untuk mendapatka
rangsangan emosi dari orang tua, berupa kehangatan, kontak fisik,rangsangan
intelektual, emosional dan social. Ada beberapa kemungkinan sebab misalnya :1. Dipisahkan dari orang tua dan
dititipkan di panti asuhan, 2. Kurangnya perhatian
dari pihak orang tua kendati tinggal bersama orang tua di rumah.
c. Hubungan orang tua – anak yang patogenik
Hubungan patogenik adalah hubungan
yang tidak serasi, dalam hal ini hubungan antara orang tua dan anak yang
berakibat menimbulkan masalah atau gangguan tertentu pada anak.
d. Struktur keluarga yang patogenik
Struktur keluarga sangat menentukan
corak komunikasi yang berlangsung diantara para anggotanya. Struktur keluarga
tertentu melahirkan pola komunikasi yang kurang sehat dan selanjutnya muncul
pola gangguan perilaku pada sebagian anggotanya. Ada empat struktur keluarga
yang melahirkan gangguan pada para anggotanya:
1) Keluarga yang tidak mampu mengatasi
masalah sehari-hari.
Kehidupan keluarga karena berbagai
macam sebab seperti tidak memiliki cukup sumber atau karena orang tua tidak
memiliki pengetahuan dan keterampilan secukupnya .
2) Keluarga yang antisosial
Keluarga yang menganut nilai – nilai
yang bertentangan dengan masyarakat luas
3) Keluarga yang tidak akur dan
keluarga yang bermasalah
4) Keluarga yang tidak utuh
Keluarga dimana
ayah / ibu yang tidak ada di rumah,
entah karena sudah meninggal atau sebab
lain seperti perceraian, ayah memiliki dua istri dll.
e. Stress berat
Stress adalah keadaan yang menekan
khususnya secara psikologis. Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh berbagai sebab,
seperti :
1)
Frustasi yang menyebabkan hilangnya harga diri
2) Konflik
nilai
3) Tekanan
kehidupan modern
3. Faktor
– Faktor Sosiokultural
Meliputi keadaan obyektif dalam
masyarakat atau tuntutan dari masyarakat yang dapat berakibat menimbulkan
tekanan dalam individu dan selanjutnya melahirkan berbagai bentuk gangguan
seperti :
a. Suasana perang dan suasana kehidupan
yang diliputi oleh kekerasan,
b. Terpaksa menjalani peran social yang
berpotensi menimbulkan gangguan, seperti menjadi tentara yang dalam peperangan
harus membunuh.
c. Menjadi
korban prasangka dan diskriminasi berdasarkan penggolongan tertentu seperti
berdasarkan agama, ras, suku dll
II.
PERASAAN
Perasaan adalah sebagai gejala psikis yang bersifat
subjektif yang umumnya berhubungan dengan gejala-gejala mengenal dan dialami
dalam kualitas senang atau tidak dalam berbagai taraf.
Ciri Khas Perasaan
1. Subyektif. Kesukaan saya terhadap tempe hangat, termasuk jika dibandingkan dengan ayam goreng, terkesan tidak obyektif. Dari tinjauan nilai gizi jelas ayam lebih bergizi. Dari unsur bahan, daging lebih enak daripada kedelai (saya bukan seorang vegetarian). Dari unsur harga, meski terkesan ayam lebih mahal, tapi saya pernah beli sepotong ayam seharga seribu sama dengan harga tempe. Secara obyektif seharusnya ayam lebih dipilih daripada tempe hangat. Tapi bagi saya beda. Bagi saya tempe lebih punya “teste”. Saya ga peduli orang mau bilang apa, suka-suka gue mau suka apa. Inilah subyektifitas saya tentang tempe hangat. Sangat mungkin setiap orang memil iki selera perasaan yang berbeda-beda. Terserah dia secara subyektif.
2. Mudah Berubah. Apa
yang kita benci hari ini, bisa jadi menjadi kita sukai keesokan hari. Apa yang
anda rasakan saat ini ketika membaca artikel ini akan berubah ketika anda
membacanya kembali di lain waktu. Nasi goreng yang terasa nikmat saat kita
sarapan sangat mungkin membosankan bagi kita kalau kita memakan menu yang sama
siang harinya. Begitulah, perasaan kita senantiasa berubah-ubah. Namun kadar
perasaan itu sangat dipengaruhi oleh prosesnya. Sebuah proses yang lama akan
melahirkan perasaan yang lebih mendalam dibandingkan dengan proses yang cepat.
Orang yang jatuh cinta karena proses pembiasaan akan lebih bertahan daripada
yang cinta pada pandangan pertama.
3. Tidak Berdiri Sendiri.
Perasaan tidak bisa muncul tanpa adanya stimulasi atau berhubungan dengan
proses jiwa yang lain. Perasaan baru muncul ketika kita melakukan pengamatan,
atau berfantasi atau berpikir, atau ketika mengindra. Perasaan tidak akan
merasakan apa-apa jika tidak ada stimulus apapun.
4. Mengandung Penilaian.
Dalam merasa sebenarnya kita membandingkan dengan perasaan-perasaan yang pernah
kita rasakan sebelumnya, sebelum kemudian kita menilai. Ini menyenangkan atau
tidak menyenangkan. Apa yang menyenangkan bagi seseorang belum tentu
menyenangkan bagi orang lain. Seseorang mungkin sangat menyenangi uang karena
pernah merasakan nikmatnya punya uang atau karena menderitanya orang tidak
punya uang.
5. Bekerja berdasar prinsip
kesenangan. Perasaan tidak memilih apa yang benar-salah atau baik-buruk.
Ia hanya memilih berdasar prinsip kesenangan. Mana yang menyenangkan bagi jiwa
itu yang selalu ia pilih. Perasaan tidak pernah memilih jalan penderitaan.
Setiap penundaan terhadap kesenangan akan menimbulkan penderitaan, karena itu
ia bersifat hedon.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perasaan
Ada tiga golongan faktor
perasaan, yaitu:
1. Perasaan
presens : perasaan yang timbul dalam keadaan yang sekarang nyata dihadapi,
yaitu berhubungan dengan situasi yang aktual.
2. Perasaan
yang menjangkau maju, merupakan jangkauan ke depan yaitu perasaan dalam
kejadian-kejadian yang akan datang, jadi masih dalam pengharapan.
3. Perasaan
yang berkaitan dengan waktu yang telah lampau yaitu perasaan yang timbul dengan
melihat kejadian-kejadian yang telah lalu. Misal orang merasa sedih karena
teringat waktu masih dalam keadaan jaya.
Max Scheler mengajukan pendapat
ada empat macam tingkatan dalam perasaan, yaitu:
1. Perasaan
tingkat sensoris, yaitu perasaan yang didasarkan atas kesadaran yang
berhubungan dengan stimulus pada kejasmanian, misal rasa sakit, panas, dingin.
2. Perasaan
kehidupan vital, yaitu perasaan yang tergantung pada keadaan jasmani
keseluruh, misal rasa segar, lelah.
3. Perasaan
psikis atau kejiwaan yaitu perasaan senang, susah, takut.
4. Perasaan
kepribadian, yaitu perasaan yang berhubungan dengan keseluruh pribadi, misal harga
diri, putus asa.
Bigot dkk. (1950) memberikan
klasifikasi perasaan sebagai berikut:
1. Perasaan
keinderaan, yaitu perasaan yang berkaitan dengan alat indera, misal perasaan
yang berhubungan dengan pencecapan, misal rasa asin, pahit, manis dan sebagainya.
2. Perasaan
psikis atau kejiwaan, yang masih dibedakan atas:
a. Perasaan intelektual
Yaitu perasaan yang timbul
apabila orang dapat memecahkan sesuatu soal atau mendapatkan hal-hal baru
sebagai hasil kerja dari segi intelektualnya. Perasaan ini juga merupakan
pendorong atau motivasi individu dalam berbuat dan merupakan motivasi dalam
lapangan ilmu pengetahuan.
b. Perasaan kesusilaan
Yaitu perasaan yang timbul
apabila orang mengalami hal-hal yang baik atau buruk menurut norma-norma
kesusilaan.
c. Perasaan keindahan atau
perasaan estetika
Yaitu perasaan yang timbul
apabila orang mengalami sesuatu yang indah atau yang tidak indah.
d. Perasaan kemasyarakatan atau
perasaan sosial
Yaitu perasaan yang timbul dalam
hubungannya dengan interaksi sosial, yaitu hubungan individu satu dengan
individu lain.
e. Perasaan harga-diri
Perasaan harga-diri ini dapat
positif, yaitu apabila individu dapat menghargai dirinya sendiri dengan secara
baik, tetapi sebaliknya perasaan harga-diri ini dapat negatif, yaitu apabila
seseorang tidak dapat menghargai dirinya secara baik.
f. Perasaan KeTuhanan
Perasaan ini timbul menyertai
kepercayaan kepada Tuhan yang mempunyai sifat-sifat serba sempurna. Perasaan
ini merupakan perasaan tertinggi atau terdalam. Perbuatan manusia yang luhur,
yang suci bersumber pada perasaan keTuhanan ini. Dengan perasaan keTuhanan
segala sesuatu akan tertuju kepadaNya.
III.
EMOSI
Emosi merupakan keadaan yang
ditimbulkan oleh situasi tertentu (khusus), dan emosi cenderung terjadi dalam
kaitannya dengan perilaku yang mengarah (approach) atau menyingkiri (avoidance)
terhadap sesuatu, dan perilaku tersebut pada umumnya disertai adanya expresi
kejasmanian, sehingga orang lain dapat mengetahui bahwa seseorang sedang
mengalami emosi.
BENTUK DAN REAKSI EMOSI
Hal ini berkaitan dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Ekman dan Friesen (Carlson, 1987) adanya tiga rules,
yaitu :
1.
masking
Yaitu keadaan seseorang yang dapat
menyembunyikan atau dapat menutupi emosi yang dialaminya.
2.
modulation
Yaitu orang tidak dapat meredam
secara tuntas mengenai gejala kejasmaniannya, tetapi hanya dapat mengurangi
saja.
3.
simulation
Yaitu orang tidak mengalami sesuatu
emosi, tetapi seolah-olah mengalami emosi dengan menampakkan gejala
kejasmanian.
PERKEMBANGAN REAKSI EMOSI
Dibawah ini adalah beberapa
contoh tentang pengaruh emosi terhadap perilaku remaja di antaranya sebagai
berikut:
a. Memperkuat semangat, apabila orang merasa senang atau puas atas hasil yang telah dicapai.
b. Melemahkan semangat, apabila timbul rasa kecewa karena kegagalan dan sebagai puncak dari keadaan ini ialah timbulnya rasa putus asa (frustasi).
c. Menghambat atau mengganggu konsentrasi belajar, apabila sedang mengalami ketegangan emosi dan dapat juga menimbulkan sikap gugup (nervous) dan gagap dalam berbicara.
d. Terganggu penyesuaian sosial, apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati.
e. Suasana emosional yang diterima dan dialami individu semasa kecilnya akan mempengarui sikapnya dikemudian hari, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.
Sedangkan perubahan emosi terhadap perubahan fisik (jasmani) remaja antara lain:
a. Peredaran darah: bertambah cepat apabila marah.
b. Denyut jantung: bertambah cepat apabila terkejut.
c. Pernapasan: bernapas panjang apabila kecewa.
d. Pupil mata: membesar apabila marah .
e. Liur: mengering apabila takut atau tegang.
f. Bulu roma: berdiri apabila takut.
g. Pencernaan: mencret-mencret apabila tegang.
h. Otot: ketegangan dan ketakutan menyebabkan otot menegang atau bergetar.
i. Komposisi darah: komposisi darah akan ikut berubah karena emosional yang menyebabkan kelenjar-kelenjar lebih aktif.
IV.
STRESS
Menurut Hans Selye, stress
adalah respons manusia yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap tuntutan
kebutuhan yang ada dalam dirinya
PENGGOLONGAN STRES
1.
Stres fisik
Stres fisik yang disebabkan karena keadaan fisik seperti karena temperatur yang tinggi atau yang sangat rendah, suara yang bising, sinar matahari atau tegangan arus listrik.
2. Stres kimiawi
Stres ini disebabkan karena zat kimia seperti adanya obat-obatan, zat beracun, asam basa, faktor hormon atau gas dan prinsipnya karena pengaruh senyawa kimia.
3. Stres mikrobiologik
Stres ini disebabkan karena kuman seperti adanya virus, bakteri atau parasit.
4. Stres fisiologik
Stres yang disebabkan karena gangguan fungsi organ tubuh di antaranya gangguan dari struktur tubuh, fungsi jaringan, organ dan lain-lain.
5. Stres proses pertumbuhan dan perkembangan
Stres yang disebabkan karena proses pertumbuhan dan perkembangan sperti pada pubertas, perkawinan dan proses lanjut usia.
6. Stres psikis atau emosional
Stres yang disebabkan karena gangguan situasi psikologis atau ketidakmampuan kondisi psikologis untuk menyesuaikan diri seperti hubungan interpersonal, sosial budaya atau faktor keagamaan.
• Faktor-faktor yang mempengaruhi stress
A.
Faktor Biologis, yaitu : herediter, konstitusi tubuh,
kondisi fisik, neurofiologik, dan neurohormonal
B.
Factor psikoedukatif/sosio cultural : perkembana
kepribadian, pengalaman, dan kondisi lain yang mempengaruhi
Tahapan stress
- Stres tingkat I. Tahapan ini merupakan tingkat
stress yang paling ringan, dan biasanya disertai
denganperasaan-perasaan seperti semangat yang cenderung besar, penglihatan
tajam tidak sebagaimana biasanya, energi dan gugup yang berlebihan,dan
kemampuan menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya. Gejala yang ada
pada Tahapan Stress I ini biasanya menyenangkan dan nyaris selalu dianggap
positif. Padahal sebenarnya tanpa disadari bahwa cadangan energi sedang
menipis.
- Stress tingkat II. Gejala dalam tahapan ini mulai
berbeda dengan tahapan stress I. Gejala yang dominan adalah
keluhan-keluhan yang dikarenakan cadangan energi tidak lagi cukup
sepanjang hari. Keluhan-keluhan yang dirasakan antara lain merasa letih
sewaktu bangun pagi, merasa lelah sesudah makan siang, merasa lelah
menjelang soare hari, kadang gangguan dalam system pencernaan (gangguan
usus, perut kembung), kadang-kadang pula jantung berdebar-debar, perasaan
tegang pada otot-otot punggung dan tengkuk (belakang leher), perasaan
tidak bisa santai.
- Stress tingkat II. Tahapan ini disertai dengan gejala
seperti gangguan usus lebih terasa (sakit perut, mulas, sering ingin ke
belakang), otot-otot terasa lebih tegang, perasaan tegang yang semakin
meningkat, gangguan tidur (sukar tidur, sering terbangun malam dan sukar
tidur kembali, ataubangun terlalu pagi), badan susah untuk tegak,
rasa-rasa mau pingsan (tidak sampai jatuh pingsan). Pada tahapan ini
penderita sudah harus berkonsultasi pada dokter, kecuali kalau beban
stress atau tuntutan-tuntutan dikurangi, dan tubuh mendapat kesempatan
untuk beristirahat atau relaksasi, guna memulihkan suplai energi.
- Stress tingkat IV. Tahapan ini sudah menunjukkan
keadaan yang lebih buruk yang ditandai dengan ciri-ciri antara lain untuk
bisa bertahan sepanjang hari terasa sangat sulit, kegiatan-kegiatan yang
semula menyenangkan kini terasa sulit, kehilangan kemampuan untuk
menanggapi situasi, pergaulan social dan kegiatan-kegiatan rutin lainnya
terasa bera, tidur semakin sukar, mimpi-mimpi menegangkan dan seringkali
terbangun dini hari, perasaan negativisik, kemampuan berkonsentrasi
menurun tajam, perasaan takut yang tidak dapat dijelaskan, tidak mengerti
mengapa.
- Stress tingkat V. Tahapan ini merupakan keadaan yang
lebih mendalam dari tahapan IV diatas, yaitu keletihan yang mendalam
(physical and psychological exhaustion), untuk pekerjaan-pekerjaan yang
sederhana saja terasa kurang mampu, gangguan system pencernaan (sakit maag
dan usus) lebih sering, sukar buang airbesar atau sebaliknya feses cair
dan sering ke belakang, perasaan takut yang semakin menjadi, mirip panic.
- Stress Tingkat VI. Tahapan ini merupakan tahapan puncak
yang merupakan keadaan gawat darurat. Gejala-gejala pada tahapan ini cukup
mengerikan seperti debar jantung terasa amat keras, hal ini disebabkan zat
adrenalin yang dikeluarkan cukup tinggi dalam peredaran darah. Gejala
lain
adalah nafas sesak, badan gemetar, tubuh dingin, keringat bercucuran,
tenaga untuk hal-hal yang ringan sekalipun tidak kuasa lagi, mudah pingsan
atau collaps. Jika dicermati, tingkatan stress VI ini telah menunjukkan
manifestasi di bidang fisik juga psikis. Di bidang fisik sering berupa
kelelahan, sedangkan di bidang psikis berupa kecemasan dan depresi.
Cara
mengendalikan stress
1. Sikap, keyakinan, dan pikiran kita
harus positif, fleksibel, rasional, dan adaptif terhadap orang lain.
2. Kendalikan factor-faktor penyebab
stress dengan jalan kemampuan menyadari, kemampuan untuk menerima, kemampuan
untuk menghadapi, kemampuan untuk bertindak
3. Perhatikan diri anda, proses
interpersonal da interaktif, serta lingkungan anda
4. Kembangkan sikap efisien
5. Relaksasi
6. Visualisasi
7. Circuit breakr dan koridor stress.
V.
Adaptasi
Adaptasi adalah suatu perubahan yang
menyertai individu dalam berespons terhadap perubahan yang ada di lingkungan
dan dapat mempengaruhi keutuhan tubuh baik secara fisiologis maupun psikologis
yang akan menghasilkan perilaku adaptif.
• Macam-macam adaptasi, antara lain:
1. Adaptasi fisiologis merupakan proses penyesuaian tubuh secara alamiah atau secara fisiologis untuk mempertahankan keseimbangan dan berbagai faktor yang menimbulkan atau mempengaruhi keadaan menjadi tidak seimbang contohnya masuknya kuman penyakit, maka secara fisiologis tubuh berusaha untuk mempertahankan baik dari pintu masuknya kuman atau sudah masuk dalam tubuh. Adaptasi secara fisiologis dapat dibagi menjadi dua yaitu: apabila kejadiannya atau proses adaptasi bersifat lokal, maka itu disebut dengan LAS (Local Adaptation Syndroma) seperti ketika daerah tubuh atau kulit terkena infeksi, maka di daerah kulit tersebut akan terjadi kemerahan, bengkak, nyeri, panas dan lain-lain yang sifatnya lokal atau pada daerah sekitar yang terkena. Akan tetapi apabila reaksi lokal tidak dapat diatasi dapat menyebabkan gangguan secara sistemik tubuh akan melakukan proses penyesuaian seperti panas seluruh tubuh, berkeringat dan lain-lain, keadaan ini disebut sebagai GAS (General Adaption Syndroma).
2. Adaptasi psikologis merupakan proses penyesuaian secara psikologis akibat stresor yang ada, dengan memberikan mekanisme pertahanan dari dengan harapan dapat melindungi atau bertahan diri dari serangan atau hal-hal yang tidak menyenangkan.
Dalam adaptasi secara psikologis terdapat dua cara untuk mempertahankan diri dari berbagai stresor yaitu dengan cara melakukan koping atau penanganan diantaranya berorientasi pada tugas (task oriented) yang di kenal dengan problem solving strategi dan ego oriented atau mekanisme pertahanan diri.
3. Adaptasi sosial budaya merupakan cara untuk mengadakan perubahan dengan melakukan proses penyesuaian perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat, berkumpul dalam masyarakat dalam kegiatan kemasyarakatan.
4. Adaptasi spiritual. Proses penyesuaian diri dengan melakukan perubahan perilaku yang didasarkan pada keyakinan atau kepercayaan yang dimiliki sesuai dengan agama yang dianutnya. Apabila mengalami stres, maka seseorang akan giat melakukan ibadah, seperti rajin melakukan ibadah
BAB IV
KESIMPULAN
Emosi adalah
suatu perasaan dengan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan
psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi sebagai gejala
kejiwaan berhubungan dengan gejala kejasmanian. Apabila individu mengalami
emosi, dalam diri individu itu akan terdapat perubahan-perubahan dalam
kejasmanian.
Sedangkan
stress yang terjadi pada setiap individu berbeda-beda tergantung pada
masalah yang dihadapi dan kemampuan menyelesaikan masalah tersebut. Jika
masalah tersebut dapat diselesaikan dengan baik maka individu tersebut akan
senang, sedangkan jika masalah tersebut tidak dapat diselesaikan dengan baik
dapat menyebabkan individu tersebut marah-marah, frustasi hingga depresi.
Adaptasi adalah
proses dimana dimensi fisiologis dan psikososial berubah dalam berespon
terhadap stress. Karena banyak stressor tidak dapat dihindari, promosi
kesehatan sering difokuskan pada adaptasi individu, keluarga atau komunitas
terhadap stress. Ada banyak bentuk adaptasi. Adaptasi fisiologis memungkinkan
homeostasis fisiologis. Namun demikian mungkin terjadi proses yang serupa dalam
dimensi psikososial dan dimensi lainnya. Suatu proses adaptif terjadi ketika
stimulus dari lingkungan internal dan eksternal menyebabkan penyimpangan
keseimbangan organisme. Dengan demikian adaptasi adalah suatu upaya untuk
mempertahankan fungsi yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA
S, kadir ABD.2010. Psikologi Keperawatan.Palembang
Pieter, heri zan.2102. Pengantar Psikologi dalam Keperawatan.Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Sunaryo.2004. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC
Riswanto. 2011. Definisi Perasaan dan Emosi. [Online] (http:// http://riswantobk.wordpress.com/2011/05/02/definisi-perasaan-dan-emosi/ , diakses tanggal 17 november 2013)
Kusbiantari.2012. Psikologi Abnormal.
[Online] ( http:// http://kusbiantari.blogspot.com/2012_03_01_archive.htm , diakses tanggal 17 november 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar